Kenapa Harus Ada Rumah Yatim?
Berawal dari obrolan atau lebih tepatnya diskusi tipis – tipis (pinjam istilah guru menulisku) tentang persepsi masyarakat di Indonesia terhadap anak yatim selama ini. Diskusi ini ringan -ringan berat, karena dilakukan dengan seprang anak yang belum genap berusia 16, tahun ini, cukup menarik dan membuka wawasan baru tentang bagaimana cara pandang anak muda zaman sekarang.
Ternyata tidak semua anak yatim di Indonesia merasa perlu dikasihani. Mengapa tidak perlu dikasihani? Mereka menyatakan bahwa anak yatim bukanlah objek dari orang – orang yang menganggap dirinya lemah. Semua persepsi itu salah besar, “ saya ini sama dengan anak -anak lain Bu.. tidak ada bedanya, jadi tidak perlu saya dikasihani seperti anak yang lemah” pendapat seorang anak yatim yang tidak mau disebutkan identitas jati dirinya ini.
Kata yatim sudah tidak asing terdengar ditelinga kita. Arti kata Yatim secara umum adalah seorang anak yang dalam kondisi tidak mempunyai seorang ayah sedang usianya masih dalam pemeliharaan orang dewasa, bahkan di Indonesia ada istilah anak yatim piatu yaitu anak yang tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai ibu.
Pasti terlintas dibenak kita pula, bahwa anak – anak yang maksud dalam kategori yatim ini adalah anak yang perlu dikasihan karena berkaca pada surat Al Maun ayat 1-7 yang artinya Tahukah kamu orang yang mendustakan agama itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin, maka celakalah bagi orang-orang yang sholeh yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang berguna”.
Anak yatim atau kita sebut saja anak “spesial” ini memberikan pendapatnya kembali berkenaan dengan status anak yatim yang sedang kita bahas kali ini. “Label -label rumah yatim , rumah dhuafa sebutan – sebutan lain yang beredar di masyarakat tersebut menjadikan atau menunjuk secara langsung bahwa memang kami lemah, itu bisa jadi salah makna “ lanjutnya bergumam. “Sebutan rumah sakit, rumah jompo, atau istilah rumah – rumah dengan kata yang mengikutinya tentu bermakna tidak jauh dari kata tersebut “ dengan penuh semangat si anak spesial ini terus “nyerocos”.
Sempat terpikir juga, jika sebutan rumah yatim itu diganti menjadi rumah spesial atau rumah surga misalnya, apakah masyarakat akan tetap berbondong – bondong memberikan sumbangannya. Bisa jadi kemungkinanya sangat kecil, jadi kalaupun hal itu memang terjadi itu disebabkan campur tangan penggunaan kata yatim, dan kita turut andil melakukan sebuah kesalahan berjamaah. Tentu ada baiknya kita semua memberi sebutan kepada apapun itu dengan sebutan yang bermakna positif karena pastinya Tuhan kita akan ersama dengan pikiran orang – orang yang berpikir positif
Posting Komentar